Cerpen: Tiga Gerbang

Sudah hampir dua jam dia duduk di sudut sana, dengan buku tebal yang masih tetap dibaca. Sesekali matanya menatap titik kejauhan di luar jendela yang tepat berada di sampingnya. Hari Jumat pukul empat di sudut kanan dekat jendela, dia selalu akan ada di sana. Apa pula pasalnya sampai aku hafal jadwal berkunjungnya ke perpustakaan.

Sejak empat tahun lalu aku mulai tahu tentang dia. Bermula ketika suatu malam di kedai sederhana sekitar kosan dia datang memesan, “Bang, nasi gorengnya satu nggak pedes ya. Kalau bisa yang porsi lima ribu aja ya Bang, banyak banget yang delapan ribu kayak porsi kuli.” Aku yang sedang menikmati pecel ayam di meja tersenyum geli mendengarnya. Sejak saat itu aku mulai tahu bahwa kosan kami bersebelahan, fakultas kami berseberangan, dan jadwal kuliah kami nyaris berbarengan.

Bukan hal yang mudah untuk sekadar mengetahui namanya. Hingga tanpa sengaja dia pernah menjatuhkan kartu mahasiswanya. Aku yang kebetulan melewati jalan yang sama, mengambil kartu itu dengan segera. Naura Aisyafra Sastromihardjo, rupanya itu namanya. Kepada ibu penjaga kosan aku pun mengembalikan.

Dari empat tahun lalu sampai hari ini aku selalu ingin menjaganya. Menjaganya dari jauh, dari jarak yang ia pun tak perlu tahu. Namun, entah bagaimana skenarionya, di detik terakhir ia menutup buku bacaannya, kakiku pun melangkah menujunya.

“Maaf, apa kamu mengenalku?”, ucapku lebih dulu.

“Seperti pernah lihat, tapi saya tidak kenal.”

“Tidak apa-apa. Bukan salahmu jika tidak mengenalku. Seharusnya sejak awal aku memperkenalkan diri. Hanya saja aku tidak berani.”

“Mengapa tidak berani?”

“Sejak awal melihatmu, aku hanya ingin menjagamu. Dari jauh saja. Tapi sepertinya hari ini aku sudah siap untuk menjagamu dari jarak dekat. Apa kamu mau menjadi pendampingku?”

“Eh? Saya tidak kenal kamu.”

“Aku pun begitu! Jadi, mari kita sama-sama mengenal jika kamu mau menerima ajakanku.”

Tidak bisa kupercaya bahwa aku mengatakan hal yang sejak lama tertahan! Kamu pun mulai keheranan. Namun, untuk menjaga tetap bersikap sopan, kamu hanya tersenyum dan kemudian mengatakan, “Terima kasih atas niat baiknya.”

Tunggu sebentar. Apa ini?! Ajakanku akan berakhir dengan penolakan kah?! Ah, bagaimana pula aku berani mempertanyakan itu di dalam hati ketika aku sudah terlanjur mengucapkan semua. Aku sudah sepakat menanggung semua konsekuensianya. Kamu pun melanjutkan kalimatmu.

“Terima kasih atas niat baiknya. Sebelum kamu benar-benar mengetuk gerbang hati saya, kamu harus bisa melewati tiga gerbang yang lain terlebih dahulu.”

“Sebutkan tiga gerbang itu.”

“Gerbang hati orang tuaku, gerbang hati saudara-saudaraku, dan gerbang hati keluarga besarku.”

“Baik, aku siap.”

Dari awal aku sudah tahu, bahwa memperjuangkanmu bukan hal main-main. Bukan perkara sembarangan. Apapun yang ada di depan, aku akan berusaha. Aku sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin. Maka, tunggu aku di gerbangmu.

Source: TheHeartBook

Image Source: TheHeartBook

 

—Dini Fitriani Tjarma

Bontang, 15 Juni 2014. 07:52 WITA. 🙂

Cerpen: Pertama

Sebelas tahun lalu awal jumpa melihatmu. Kau begitu lugu di mataku. Anak cerdas yang baru lulus sekolah dasar sama sepertiku. Wajah teduhmu membuatku menyunggingkan senyum kali pertama melihatmu. Ah, ada apa kiranya dengan diriku?

Tidak butuh waktu lama di sekolah baru itu agar semua orang menyukaimu. Kau seorang yang menyenangkan! Sungguh, semakin aku mengagumimu dengan perangai baikmu, mudahnya dirimu menambah teman-teman baru, dan segala yang ada pada dirimu.

Bertahun-tahun kita selalu berada dalam satu kelas. Aku berusaha mengimbangimu yang begitu membanggakan di mataku. Prestasimu selalu nomor satu. Satu-satunya kesempatan aku bisa unggul darimu hanya saat mata pelajaran olahraga. Kau selalu membuat seisi kelas tertawa kalau kau berhubungan dengan bola. Bola apa saja. Bola basket, bola voli, bola kasti, bahkan bola pingpong sekali pun.

Pertemanan kita terus berjalan dari tahun ke tahun. Tak terhitung berapa lomba dan kegiatan lainnya kita habiskan bersama. Aku selalu bahagia kalau kau ada di sana. Melihat sesimpul senyummu atau mendengarmu tertawa. Seakan itu hal paling indah di dunia.

Duhai, tersiksa sekali sebenarnya diriku dengan segala yang kurasa. Kau tak pernah tahu saja yang menumpuk di dasar hati sana. Susah payah bersikap sewajarnya selama bertahun-tahun demi menjagamu, menjaga perasaanmu, menjaga segala kesucian hatimu. “Selama kau bahagia, kau tak perlu tahu“, itu prinsipku.

Ketersiksaan itu semakin terasa di bangku kuliah. Jarak kita semakin jauh membuatku menumpuk jutaan rindu yang hanya bisa kuutarakan dalam lantunan doa. Kau di Yogyakarta, aku di Jakarta. Berulang kali kuyakinkan diri ini kalau belum saatnya kuungkap semua. Biar dulu kau terbang bebas dengan sayap yang kau punya, mencapai segala asa yang semakin jauh kusamai langkahnya.

Tahun pertama, kedua, ketiga, tak pernah lagi kita bertatap muka. Hanya sesekali bertegur sapa sekadarnya di social media. Tuhan, bagaimanalah menyudahi rindu ini yang semakin memilukan?

Rupanya doaku terjawab di tahun keempat. Wajah teduh itu terlihat lagi di depan mataku, tepat sehari setelah operasi kankerku. Aku divonis kanker paru-paru tak lama setelah seminar proposal tugas akhirku.

“Bagaimana keadaanmu?”, tanyamu waktu itu.  Senyummu masih sama, tetap indah seindah namamu.

Kalau saja boleh jujur, akan kutumpahruahkan semua yang terpendam sejak sebelas tahun silam. Bagaimana kau telah mewarnai hidupku, membuatku selalu terpacu menjadi versi terbaik diriku. Hanya saja seluruh rangkaian kalimat itu tertahan di pangkal tenggorokan, sehingga yang keluar hanya ucapan “Baik” diiringi senyuman penuh dusta. Tak apalah, ada kau di sini saja sudah menjadi hadiah sempurna untuk mengobati segala nyeri yang kurasa.

Kau pun kembali ke tanah rantau selepas menengokku. Kita berjanji akan saling mengunjungi hari bahagia masing-masing beberapa bulan lagi. Hari yang dinanti semua mahasiswa seluruh penjuru nusantara, wisuda! Pesan singkat darimu kuterima tak lama setelah keretamu berangkat menuju Yogya:

Kalau kamu benar mau hadir di wisudaku, kamu harus sembuh. WAJIB! Be strong, please. Tuhan ga pernah kasih ujian yang melampaui kemampuan hambaNya. Kamu akan sembuh dan kamu harus percaya itu. -Lily

Semangat untuk sembuh itu kembali muncul ke permukaan. Entah dari mana segala energi yang kupunya. Aku seperti tidak merasa apa-apa, nyeri dada yang biasa menyerang seakan hilang entah ke mana. Aku kembali ke kampus, kembali menyelesaikan tugas akhirku, demi menemui ia yang ada di sana. Ia yang sejak awal begitu kucinta. Orang pertama dan akan selalu jadi yang pertama.

***

“Lily, selamat ya. Wisuda juga akhirnya. Hebat banget sih udah diterima kerja pula jadi asisten manajer.”

“Makasih banyak. Kamu juga ga kalah hebat. Selamat juga ya.”

“Sip, sama-sama.”

“Kok datang sendirian? Yang lain mana? Arya mana?”

“Yang lain lagi di sana. Eh, kalau soal Arya…”

“Apa ini, Riz?”

“Tulisan Arya yang ditemuin di buku hariannya. Orang tuanya minta untuk dikasih ke kamu. Maaf Ly, Arya meninggal kemarin waktu mau berangkat ke sini. Buka deh halaman terakhir buku hariannya.”

You did it, Ly! Besok lusa kamu akan wisuda. Besok aku berangkat menuju kotamu. Biar saja kupaksa diri ini meski dalam kondisi sakit. Aku tidak mau melewatkan hari bahagiamu, apalagi kau akan terlihat sangat cantik. Setelah itu, izinkan aku menemui ayahmu ya, Ly. Aku akan meminangmu. Aku ingin menyempurnakan kebahagiaanmu dengan menjadi pendampingmu. Semoga saja kau menyetujuinya. Karena kalau ada perempuan yang harus kubahagiakan selain ibuku, itu hanya kamu. Lily Nada Syabilla. Perempuan pertama yang kucinta. Pertama dan akan selalu jadi yang pertama.

“Arya teman sebangkuku sejak SMP. Dia cerita semua tentang yang dia rasa ke kamu. Dari dulu sampai akhir hayatnya, cuma kamu yang ada di hatinya, Ly.”

“Kita ke makamnya sekarang, Riz.”

Cerpen: Beku

Aku pikir aku tidak akan lagi merasakan kebekuan pada diriku sejak bertahun-tahun lalu. Ya, bertahun-tahun lalu saat kedua bola mataku terpaku pada satu titik temu. Pemandangan yang meretakkan hati ketika melihat dia yang kusangka menjadi masa depanku berdua dengan pilihan orang tuanya. Lebih berharta dibanding diriku yang tiada daya dibandingkan dengannya. Perjodohan harta dan tahta, begitu kurang lebih disebutkan pujangga ternama.

Dua puluh menit lalu kudapati lagi diriku beku. Lidah pun ikut kelu. Sosok yang berdiri di hadapanku ialah ia yang kehadirannya kutunggu. Aku tunggu untuk bertemu.

***

Satu setengah tahun lalu…

Habis sudah air mataku meratapi perjalananku yang lebih mirip serial televisi. Keteguhan hati yang susah payah kubangun dan kujaga dibalas dengan pengkhianatan sempurna. Aku bersyukur jiwaku tak sampai terganggu, hingga aku berjanji takkan membagi luka ini dengan siapa pun selain Tuhanku, yang tentu lebih sayang padaku.

Di sela-sela usaha menyembuhkan hati, aku lebih sering menyepi untuk menyendiri. Terkadang untuk merefleksi diri, terkadang untuk menghibur diri. Kemudian kutemukan langkah paling efektif menemukan kembali bahagiaku yang sempat pergi. Membaca. Tulisan dari buku-buku ternama banyak menyentuh dan membuatku sembuh. “Aku harus bangkit!“, pikirku tiap selesai menamatkan bacaanku.

Hatiku mulai sembuh, terlebih setelah aku jatuh cinta pada tulisan seseorang. Semakin lama aku bisa menilai karakter seseorang dari tulisan yang dibuatnya. Konyol memang, aku tahu. Anggap saja hanya berlaku untuk orang ini. Tutur bahasanya indah, seindah tulisannya yang menggambarkan rasa syukur dan betapa bahagianya ia nun jauh di sana. Siapa dia sebenarnya? Tiap minggu tiada kulewatkan satu pun tulisannya. Sepertinya aku mulai kagum padanya. Si penulis di dunia maya.

***

Dua puluh menit lalu aku sudah berdiri di pintu depan rumah sahabatku. Sahabatku di tanah rantau, yang sudah kuanggap keluarga sendiri selama di perguruan tinggi.

“Liza, aku sudah di depan nih. Bukain pintu ya”, kukirim pesan singkat ke sahabatku.

“Akhirnya datang juga. Ayo sini cepetan masuk!”, ucap Liza sambil membukakan pintu.

Sejak seminggu lalu Liza begitu bersemangat mengundangku ke rumahnya setelah kuceritakan padanya rencanaku untuk melanjutkan sekolah pascasarjana. Sampai pada detik aku berada dalam rumahnya, aku masih belum menemukan alasannya mengundangku datang ke sana. Hingga semenit kemudian turun seseorang dari lantai dua.

Kudapati lagi diriku beku setelah bertahun-tahun lalu. Lidah pun ikut kelu. Sosok yang berdiri di hadapanku ialah ia yang kehadirannya kutunggu. Aku tunggu untuk bertemu. Waktu seakan berhenti saat itu, meski aku tahu tak ada yang dapat menghentikan waktu selain Sang Pencipta Waktu.

“Kenalin ini kakakku. Dia lagi liburan musim panas. Minggu lalu kan kamu cerita mau lanjut S2 ke Edinburgh, nah bisa tanya-tanya deh sama kakakku. Mas, ini sahabatku, Nada.”

Dia, si penulis dunia maya, rupanya kakak sahabatku. Dia, yang menjadi alasanku untuk melanjutkan studiku. Dia, yang melalui tulisan-tulisannya, menyembuhkan lukaku.

Dia, Mas Gazza namanya. Dia, yang nyata kehadirannya. Dia, yang memantapkan langkahku meninggalkan Indonesia sementara, menciptakan bahagia.

Aku beku seperti bertahun-tahun lalu. Tidak seperti dulu dalam sedihku, kali ini aku beku dalam harapku.