Sudah hampir dua jam dia duduk di sudut sana, dengan buku tebal yang masih tetap dibaca. Sesekali matanya menatap titik kejauhan di luar jendela yang tepat berada di sampingnya. Hari Jumat pukul empat di sudut kanan dekat jendela, dia selalu akan ada di sana. Apa pula pasalnya sampai aku hafal jadwal berkunjungnya ke perpustakaan.
Sejak empat tahun lalu aku mulai tahu tentang dia. Bermula ketika suatu malam di kedai sederhana sekitar kosan dia datang memesan, “Bang, nasi gorengnya satu nggak pedes ya. Kalau bisa yang porsi lima ribu aja ya Bang, banyak banget yang delapan ribu kayak porsi kuli.” Aku yang sedang menikmati pecel ayam di meja tersenyum geli mendengarnya. Sejak saat itu aku mulai tahu bahwa kosan kami bersebelahan, fakultas kami berseberangan, dan jadwal kuliah kami nyaris berbarengan.
Bukan hal yang mudah untuk sekadar mengetahui namanya. Hingga tanpa sengaja dia pernah menjatuhkan kartu mahasiswanya. Aku yang kebetulan melewati jalan yang sama, mengambil kartu itu dengan segera. Naura Aisyafra Sastromihardjo, rupanya itu namanya. Kepada ibu penjaga kosan aku pun mengembalikan.
Dari empat tahun lalu sampai hari ini aku selalu ingin menjaganya. Menjaganya dari jauh, dari jarak yang ia pun tak perlu tahu. Namun, entah bagaimana skenarionya, di detik terakhir ia menutup buku bacaannya, kakiku pun melangkah menujunya.
“Maaf, apa kamu mengenalku?”, ucapku lebih dulu.
“Seperti pernah lihat, tapi saya tidak kenal.”
“Tidak apa-apa. Bukan salahmu jika tidak mengenalku. Seharusnya sejak awal aku memperkenalkan diri. Hanya saja aku tidak berani.”
“Mengapa tidak berani?”
“Sejak awal melihatmu, aku hanya ingin menjagamu. Dari jauh saja. Tapi sepertinya hari ini aku sudah siap untuk menjagamu dari jarak dekat. Apa kamu mau menjadi pendampingku?”
“Eh? Saya tidak kenal kamu.”
“Aku pun begitu! Jadi, mari kita sama-sama mengenal jika kamu mau menerima ajakanku.”
Tidak bisa kupercaya bahwa aku mengatakan hal yang sejak lama tertahan! Kamu pun mulai keheranan. Namun, untuk menjaga tetap bersikap sopan, kamu hanya tersenyum dan kemudian mengatakan, “Terima kasih atas niat baiknya.”
Tunggu sebentar. Apa ini?! Ajakanku akan berakhir dengan penolakan kah?! Ah, bagaimana pula aku berani mempertanyakan itu di dalam hati ketika aku sudah terlanjur mengucapkan semua. Aku sudah sepakat menanggung semua konsekuensianya. Kamu pun melanjutkan kalimatmu.
“Terima kasih atas niat baiknya. Sebelum kamu benar-benar mengetuk gerbang hati saya, kamu harus bisa melewati tiga gerbang yang lain terlebih dahulu.”
“Sebutkan tiga gerbang itu.”
“Gerbang hati orang tuaku, gerbang hati saudara-saudaraku, dan gerbang hati keluarga besarku.”
“Baik, aku siap.”
Dari awal aku sudah tahu, bahwa memperjuangkanmu bukan hal main-main. Bukan perkara sembarangan. Apapun yang ada di depan, aku akan berusaha. Aku sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin. Maka, tunggu aku di gerbangmu.
—Dini Fitriani Tjarma
Bontang, 15 Juni 2014. 07:52 WITA. 🙂